Petualanganku dalam SM-3T



Terlalu sedih untuk menceritakan semua ini,…
Rasa-rasanya ingin menangis saja jika aku melihat mereka. Sudah jauh di seberang sana Hidup penuh dengan ketidakmajuan,…. Namun mereka tidak akan pernah lelah untuk mencari ilmu. Ilmu yang sulit sekali mereka dapatkan. Bukan karena ini jaman penjajahan tapi karena tidak ada semangat beberapa pendidik untuk memberi ilmu sehingga menyebabkan mereka menjadi korban. Memang semua tidak disengaja, dengan tempat yang begitu ekstrim, terisolasi adalah satu alasan utama sehingga semuanya seperti itu.
Sebut saja Horid satu dari mereka. Dia salah satu siswi SMPN 2 Ambal Satap yang tempat tinggalnya jauh dari sekolah tersebut. Walaupun menyebrang sungai, jalan yang berliku panjang, dan tanjakan tidak pernah membuatnya terlambat ataupun meninggalkan sekolah. Dia ingin sekali mendapatkan ilmu disetiap langkah lelahnya menuju sekolah.
 “Selamat Pagi pak” sapanya dengan senyum khas timornya,
“pagi juga, datang deng sapa?” aku Tanya dengan penuh rasa ingin tahu
“be datang sendiri sa”
“ooo Ko lu berani datang sendiri pagi buta begini”
“ya berani lah pak supaya tepat waktu masuk sekolah pak”, dia menjawab lagi.
Mendengar perkataanya rasa-rasanya aku ingin menjadi orang pintar semuanya. Pintar dalam semua bidang studi agar aku bisa langsung mengajar mereka tanpa tunggu lagi orang yang tidak peduli dengan mereka. Aku tidak bisa membayangkan dengan lelah seperti itu, dengan disiplin waktu seperti itu mereka hanya pulang dengan tangan kosong. Dimana rasa cinta orang-orang yang punya tanggung jawab atas kepintaran mereka. Mereka terbuang dan mereka hanya bisa menikmati tanpa bisa melawan.
                Bel masuk sudah kami pukul, mereka kumpul dan berdo’a, kemudian mereka disuruh masuk di kelas masing-masing. Dengan buku dan balpoin di atas mejanya mereka menunggu para pendidik yang pastinya tak akan kunjung datang. Kadang beberapa siswa melihat dan melihat jadwal pelajaran dan berharap nama-nama di jadwal pelajaran itu hilang seperti hilangnya para pendidik mereka. Sesegera sebagian dari kami masuk ke kelas-kelas dan mengajarkan sesuai keahlian-keahlianya. Rasa-rasanya setiap hari mereka seperti makan nasi tanpa lauk dan kalaupun ada itupun sedikit, namun itu semua bisa membuat mereka bahagia dan menerima apa adanya.
                Sungguh kami merasa dihadirkan untuk menyaksikan suasana ironi seperti itu. Kadang ketika aku berkata “Sebentar lai bapa su dipulangkan”. Langsung mata mereka menjadi berkaca-kaca, serasa menyimpan pesan “jangan pernah pergi malaikat kami”. Serasa harapan mereka akan hilang dengan habisnya waktu kami disana. Aku tak pernah henti menyanyangi mereka, dengan kekurangan mereka, keluguan mereka, dan kebaikan mereka. Aku telah meletakan mereka menjadi bagian dari keluargaku juga keluarga kami. Dimana seperti halnya aku sedang bermimpi indah dan aku biarkan mereka menikmati mimpi indahku juga.
                Di tiap kesendirianku, aku selalu berharap akan ada lagi yang seperti kami, agar mampu menyambung harapan tinggi mereka, sehingga mereka setidaknya mampu berjalan diantara orang-orang yang sudah bersayap di seberang mereka.

Comments