Rasa-rasanya ingin menangis saja jika
aku melihat mereka. Sudah jauh di seberang sana Hidup penuh dengan
ketidakmajuan,…. Namun mereka tidak akan pernah lelah untuk mencari ilmu. Ilmu
yang sulit sekali mereka dapatkan. Bukan karena ini jaman penjajahan tapi
karena tidak ada semangat beberapa pendidik untuk memberi ilmu sehingga
menyebabkan mereka menjadi korban. Memang semua tidak disengaja, dengan tempat
yang begitu ekstrim, terisolasi adalah satu alasan utama sehingga semuanya
seperti itu.
Sebut saja Horid satu
dari mereka. Dia salah satu siswi SMPN 2 Ambal Satap yang tempat tinggalnya
jauh dari sekolah tersebut. Walaupun menyebrang sungai, jalan yang berliku
panjang, dan tanjakan tidak pernah membuatnya terlambat ataupun meninggalkan
sekolah. Dia ingin sekali mendapatkan ilmu disetiap langkah lelahnya menuju
sekolah.
“Selamat Pagi pak” sapanya dengan senyum khas
timornya,
“pagi juga, datang deng
sapa?” aku Tanya dengan penuh rasa ingin tahu
“be datang sendiri sa”
“ooo Ko lu berani
datang sendiri pagi buta begini”
“ya berani lah pak
supaya tepat waktu masuk sekolah pak”, dia menjawab lagi.
Mendengar perkataanya rasa-rasanya aku
ingin menjadi orang pintar semuanya. Pintar dalam semua bidang studi agar aku
bisa langsung mengajar mereka tanpa tunggu lagi orang yang tidak peduli dengan
mereka. Aku tidak bisa membayangkan dengan lelah seperti itu, dengan disiplin
waktu seperti itu mereka hanya pulang dengan tangan kosong. Dimana rasa cinta
orang-orang yang punya tanggung jawab atas kepintaran mereka. Mereka terbuang
dan mereka hanya bisa menikmati tanpa bisa melawan.
Bel
masuk sudah kami pukul, mereka kumpul dan berdo’a, kemudian mereka disuruh
masuk di kelas masing-masing. Dengan buku dan balpoin di atas mejanya mereka
menunggu para pendidik yang pastinya tak akan kunjung datang. Kadang beberapa
siswa melihat dan melihat jadwal pelajaran dan berharap nama-nama di jadwal
pelajaran itu hilang seperti hilangnya para pendidik mereka. Sesegera sebagian
dari kami masuk ke kelas-kelas dan mengajarkan sesuai keahlian-keahlianya.
Rasa-rasanya setiap hari mereka seperti makan nasi tanpa lauk dan kalaupun ada
itupun sedikit, namun itu semua bisa membuat mereka
bahagia dan menerima apa adanya.
Sungguh
kami merasa dihadirkan untuk menyaksikan suasana ironi seperti itu. Kadang
ketika aku berkata “Sebentar lai bapa su dipulangkan”. Langsung mata mereka
menjadi berkaca-kaca, serasa menyimpan pesan “jangan pernah pergi malaikat
kami”. Serasa harapan mereka akan hilang dengan habisnya waktu kami disana. Aku
tak pernah henti menyanyangi mereka, dengan kekurangan mereka, keluguan mereka,
dan kebaikan mereka. Aku telah meletakan mereka menjadi bagian dari keluargaku
juga keluarga kami. Dimana seperti halnya aku sedang bermimpi indah dan aku
biarkan mereka menikmati mimpi indahku juga.
Di
tiap kesendirianku, aku selalu berharap akan ada lagi yang seperti kami, agar
mampu menyambung harapan tinggi mereka, sehingga mereka setidaknya mampu
berjalan diantara orang-orang yang sudah bersayap di seberang mereka.